
Harga Barang hingga Properti Anjlok, Perekonomian China Dikhawatirkan Masuk Periode Deflasi
BEIJING, iNews.id – Perekonomian China dikhawatirkan masuk periode deflasi seiring anjloknya harga barang hingga properti, juga ekspor dan impor.
Biro Statistik Nasional China, Rabu (9/8/2023), melaporkan indeks harga konsumen turun 0,3 persen pada Juli 2023 dibandingkan periode sama tahun lalu. Hal itu, merupakan yang pertama kalinya setelah harga konsumen cenderung stagnan selama 10 bulan terakhir.
Penurunan indeks harga konsumen tersebut, dipicu perang diskon yang terjadi pada harga mobil hingga properti. Di sektor pangan, harga babi yang merupakan salah satu makanan pokok orang China juga jatuh.
Beberapa harga konsumen untuk pakaian, sepatu, dan perawatan kesehatan, masih menunjukkan peningkatan meskipun sedikit. Tetapi harga produsen yang turun 4,4 persen karena permintaan yang lemah memaksa pabrik dan bisnis lain untuk memangkas harga.
Dilaporkan, harga rumah yang ada di 100 kota di seluruh China telah turun rata-rata 14 persen dari puncaknya pada Agustus 2021. Harga sewa rumah juga turun sekitar 5 persen.
Hal itu, telah mendorong pengembang untuk mengejar strategi seperti menawarkan tempat parkir gratis dan diskon lainnya, yang secara efektif menurunkan harga keseluruhan rumah dengan cara yang mungkin tidak langsung tercermin dalam data pemerintah.
Pemerintah China telah memompa jumlah uang beredar, terutama mendorong bank untuk meminjamkan lebih banyak. Hal ini merupakan cara standar untuk mengatasi deflasi. Namun akhir-akhir ini tidak banyak perusahaan atau rumah tangga yang menunjukkan minat untuk meminjam dari bank. Hanya badan usaha milik negara, yang diinstruksikan pemerintah untuk terus meminjam dan berinvestasi bahkan pada proyek dengan pengembalian rendah.
Pola-pola tersebut telah memperkuat kekhawatiran tentang deflasi, yang berpotensi melumpuhkan secara luas yang cenderung juga menekan kekayaan bersih rumah tangga, seperti yang terjadi di Jepang selama bertahun-tahun.
Deflasi sangat serius di negara dengan utang yang sangat tinggi, seperti China. Pasalnya, utang nasional China lebih besar dibandingkan dengan hasil ekonomi nasional.
Pemerintah China telah menekan para ekonom di dalam negeri untuk tidak menyebutkan kemungkinan deflasi, sementara secara terbuka menyangkal bahwa deflasi menimbulkan risiko.
Namun tak dapat dipungkiri ekonomi China cenderung melambat meskipun sudah hampir delapan bulan sejak pemimpin tertinggi China, Xi Jinping, melonggarkan langkah-langkah pandemi yang ketat yang telah melumpuhkan banyak sektor ekonomi.
“Ekonomi Tiongkok menghadapi momok deflasi, meningkatkan urgensi langkah-langkah pemerintah untuk merangsang ekonomi, dan mungkin yang lebih penting, langkah-langkah untuk membangun kembali kepercayaan rumah tangga dan bisnis,” kata Eswar Prasad, seorang profesor ekonomi di Universitas Cornell dan mantan Kepala Divisi China di IMF.
Sementara Wang Dan, kepala ekonom di Hang Seng Bank China, mengatakan daya beli yang lemah untuk barang-barang China dari pembeli domestik dan asing, yang ditunjukkan oleh penurunan tajam dalam ekspor musim panas ini. Ekspor yang rendah didorong oleh permintaan yang melambat dari negara maju dan upaya untuk mendiversifikasi pasokan dari China.
Sebelumnya, China pernah berada dalam periode deflasi pada awal tahun 2009, ketika harga jatuh selama krisis keuangan global, kemudian pada tahun 2012, ketika menghadapi kondisi asing dan domestik yang lemah.
Meski demikian, pemerintah China lebih mudah menyelamatkan kondisi ekonomi saat itu. Harga real estat telah melonjak selama dekade terakhir, karena bank sentral China telah mengeluarkan sejumlah besar uang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dengan cepat dan mencegah mata uang negara, renminbi, menjadi cukup kuat untuk melemahkan daya saing ekspor pabrik-pabrik negara tersebut.
Pekan lalu, pejabat China meminta pemerintah lokal dan provinsi untuk memberlakukan serangkaian tindakan untuk mendorong konsumen berbelanja. Tetapi pemerintah pusat enggan membayar lebih banyak belanja konsumen.
Kehati-hatian itu telah mendorong para ekonom di luar China daratan mengkhawatirkan China sedang masuk periode deflasi, akibat pemulihan ekonomi pascaCovid-19 yang melambat.
Editor : Jeanny Aipassa
Follow Berita iNews di Google News
Bagikan Artikel:
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews.id tidak terlibat dalam materi konten ini.